Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah mencela makanan
Kenikmatan Allah Ta’ala tiada terkira. Ragam makanan dan minuman sangat bervariasi. Kewajiban seorang muslim, menghargai nikmat-nikmat tersebut dan mensyukurinya. Kendatipun makanan yang tersedian sepele, celaan tidak layak muncul dari bibir seorang muslim.
Demikian juga, ketika makanan atau minuman tidak menggugah selera, atau mengundang ketidaksukaan, karena cita rasanya yang kurang tajam, bentuknya yang tidak menarik, atau bahan-bahannya yang dirasa tidak bergizi, cacian tetap saja tidak cocok untuk dikeluarkan.
Keteladanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam masalah ini, beliau tidak pernah mengeluarkan komentar miring sekalipun terhadap masakan atau makanan yang boleh dimakan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
“Rasullullah tidak pernah mencela makanan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan makanan haram, beliau melancarkan celaan padanya. Bahkan melarang mengkonsumsinya.
Apabila makanan yang dihidangkan beliau sukai, maka beliau menyantapnya. Sedangkan sikap beliau saat menghadapi jamuan yang tidak menarik hati, maka beliau tidak menjamahnya, tanpa mengeluarkan komentar miring apapun terhadapnya.
“Kalau Beliau menyukainya, maka akan beliau makan. Dan jika tidak menyukainya, beliau menyukainya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sikap di atas merupakan keagungan dan keluhuran akhlak Rasullullah. Beliau menghormati perasaan orang yang telah memasak atau membuatnya. Rasullullah tidak suka mencela hasil kerja orang yang membuatnya sehingga dapat menyakiti hatinya. Sisi lain, tidak menutup kemungkinan, ada orang lain yang menyukai makanan tersebut. Hadits di atas juga, mengajarkan sikap ksatria dalam menghadapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan cara tidak menyentuh dan meninggalkannya.
Selain itu, bentuk penghargaan lain terhadap makanan, walaupun tidak selalu dilakukan. Rasullullah memuji makanan-makanan. Terdapat suatu riwayat; Beliau bertanya kepada keluarganya atentang lauk yang tersedia. Keluarga Beliau menjawab:
“Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali cuka,”
Maka Beliau meminta untuk disediakan dan mulai menyantapnya. Lantas berkata:
“Sebaik-baiknya lauk dalah cuka. Sebaik-baiknya lauk adalah cuka”. (HR. Muslim)
Pujian sebagaimana hadits diatas bias bermakna pujian kepada objek makanan, dan juga bias ditujukan untuk menghibur keluarga, bukan berarti pengutamaan cuka di atas segala makanan.
Begitulah sekelumit kisah Rasullullah berkaitan dengan makanan, yang menjadi kebutuhan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Beliau tidak mencela dan selalu bersikap qanaa’ah (menerima) dengan apa yang tersedia.
Semoga Allah Ta’ala memberiukan taufik kepada kita untuk meneladani Beliau secara lahir dan Batin.
Sumber:
Syarh Riyaadhush Shalihin, Syaikh Al-’Utsaimin.
Bahjatun-Naazhiriin, Syaikh Salim Al-Hilali.
Diketik Ulang dari Majalah Nikah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M Hal. 5
Demikian juga, ketika makanan atau minuman tidak menggugah selera, atau mengundang ketidaksukaan, karena cita rasanya yang kurang tajam, bentuknya yang tidak menarik, atau bahan-bahannya yang dirasa tidak bergizi, cacian tetap saja tidak cocok untuk dikeluarkan.
Keteladanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam masalah ini, beliau tidak pernah mengeluarkan komentar miring sekalipun terhadap masakan atau makanan yang boleh dimakan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
“Rasullullah tidak pernah mencela makanan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan makanan haram, beliau melancarkan celaan padanya. Bahkan melarang mengkonsumsinya.
Apabila makanan yang dihidangkan beliau sukai, maka beliau menyantapnya. Sedangkan sikap beliau saat menghadapi jamuan yang tidak menarik hati, maka beliau tidak menjamahnya, tanpa mengeluarkan komentar miring apapun terhadapnya.
“Kalau Beliau menyukainya, maka akan beliau makan. Dan jika tidak menyukainya, beliau menyukainya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sikap di atas merupakan keagungan dan keluhuran akhlak Rasullullah. Beliau menghormati perasaan orang yang telah memasak atau membuatnya. Rasullullah tidak suka mencela hasil kerja orang yang membuatnya sehingga dapat menyakiti hatinya. Sisi lain, tidak menutup kemungkinan, ada orang lain yang menyukai makanan tersebut. Hadits di atas juga, mengajarkan sikap ksatria dalam menghadapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan cara tidak menyentuh dan meninggalkannya.
Selain itu, bentuk penghargaan lain terhadap makanan, walaupun tidak selalu dilakukan. Rasullullah memuji makanan-makanan. Terdapat suatu riwayat; Beliau bertanya kepada keluarganya atentang lauk yang tersedia. Keluarga Beliau menjawab:
“Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali cuka,”
Maka Beliau meminta untuk disediakan dan mulai menyantapnya. Lantas berkata:
“Sebaik-baiknya lauk dalah cuka. Sebaik-baiknya lauk adalah cuka”. (HR. Muslim)
Pujian sebagaimana hadits diatas bias bermakna pujian kepada objek makanan, dan juga bias ditujukan untuk menghibur keluarga, bukan berarti pengutamaan cuka di atas segala makanan.
Begitulah sekelumit kisah Rasullullah berkaitan dengan makanan, yang menjadi kebutuhan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Beliau tidak mencela dan selalu bersikap qanaa’ah (menerima) dengan apa yang tersedia.
Semoga Allah Ta’ala memberiukan taufik kepada kita untuk meneladani Beliau secara lahir dan Batin.
Sumber:
Syarh Riyaadhush Shalihin, Syaikh Al-’Utsaimin.
Bahjatun-Naazhiriin, Syaikh Salim Al-Hilali.
Diketik Ulang dari Majalah Nikah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M Hal. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar